Koneksitas Spiritual antara Software Buatan Tuhan dan Manusia
Kemajuan teknologi dan inovasi telah melahirkan banyak aplikasi dan software yang mempermudah interaksi sosial, dalam berbagai aspek kehidupan. Berbagai aplikasi dan software seperti YouTube, Facebook, Twitter, Instagram, dan platform lainnya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern.
YouTube, sebagai platform berbagi
video terbesar di dunia, secara drastis telah mengubah cara mengonsumsi konten
visual. Facebook, Twitter, dan Instagram, sebagai media sosial utama,
memungkinkan pengguna untuk terhubung, dan membangun jejaring secara global.
Selain itu, aplikasi-aplikasi ini juga masuk dalam ranah politik, kekuasaan, bisnis,
dan pertukaran ide di tingkat global.
Cara kerja berbagai aplikasi di
atas menggambarkan sistem yang canggih dan terintegrasi. Para kreator
menggunakan algoritma yang kompleks untuk mengenali preferensi pengguna,
mengoptimalkan pengalaman pengguna, dan menyediakan konten yang relevan.
Para kreator bekerja
menggunakan 'big data' seakan-akan mereka ada di dunia lain, dunia ghaib bagi
bagi masyarakat awam. Melalui big data, para kreator dapat mengidentifikasi karakter
pengguna, memahami preferensi politik, perilaku sosial, agama dan merancang layanan
yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Sebagai contoh, perusahaan e-commerce
menggunakan big data untuk mengoptimalkan pengalaman belanja online, memberikan
rekomendasi produk yang tepat, dan meningkatkan efisiensi rantai pasok.
'Dunia ghaib big data' ini
juga mencakup pengembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang dapat
memproses dan menganalisis data secara otomatis, menghasilkan informasi tanpa
keterlibatan langsung manusia.
Koneksitas Spiritual
Sehebat dan secanggih
apapun berbagai aplikasi dan software tersebut tidak lain adalah hasil
pemikiran manusia, yang hanya dapat berpikir karena digerakkan oleh ‘software
buatan Tuhan’. Otak, sistem memori, dan daya pikir manusia adalah software
buatan Tuhan yang mengagumkan, menjelma dalam struktur kompleks yang bahkan
teknologi paling mutakhir tidak dapat memahami hakikatnya.
Menurut penelitian
neurosains, otak manusia memiliki sekitar 86 miliar sel saraf yang saling
terhubung, menciptakan jaringan kompleks yang memungkinkan pengolahan informasi,
dan pengambilan keputusan. Fakta ini menegaskan keindahan dan kecanggihan
‘software’ ciptaan Tuhan yang diberikan secara gratis kepada manusia.
Konektistas antara
‘software buatan Tuhan’ dengan ‘software buatan manusia’ hendaknya tidak
terabaikan dalam setiap ide dan inovasi untuk maju. Meskipun manusia dapat
menciptakan teknologi yang luar biasa, pengakuan atas kecanggihan dan
kesempurnaan sofwer ciptaan Tuhan dapat memberikan landasan etis dalam pengembangan
dan pemanfaatan teknologi. Keseimbangan antara pencapaian manusia dan
penghargaan terhadap sofwer ciptaan Tuhan akan memberikan pondasi yang kokoh
bagi kemajuan yang selaras dengan kebutuhan spiritual.
Berbagai sofwer buatan
manusia hendaknya dilihat dari perspektif bahwa sofwer-sofwer tersebut adalah ‘ayat-ayat
kauniyah’ yang menunjukkan keagungan Tuhan. Harus ada koneksitas ke arah
tersebut. Jika tidak, maka teknologi akan menjerumuskan manusia. Jika
koneksitas ini terputus, maka inovasi yang dihasilkan semata-mata hanya menjadi
alat untuk tujuan material dan mengabaikan dampak spiritualnya.
Tidak bisa dipungkiri, lahirnya berbagai sofwer dan aplikasi canggih didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan material, walaupun ada klaim didasarkan pada nilai-nilai universal tetapi basisnya tetap keuntungan finansial. Kehilangan kesadaran akan adanya koneksitas antara ‘software buatan Tuhan’ dengan ‘software buatan manusia’ mengarah pada risiko penyalahgunaan teknologi atau pengembangan inovasi yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Gelembung Informasi
Salah satu kasus konkret
dari dampak negatif teknologi rekayasa sosial dan manipulasi opini terjadi pada
fenomena penyebaran berita palsu (hoaks) dan polarisasi opini melalui
platform sosial media. Misalnya, dalam pemilihan umum, seringkali terdapat
kampanye yang menggunakan trik manipulatif untuk mempengaruhi pendapat publik.
Pada tahun 2016, selama
pemilihan presiden Amerika Serikat, terungkap bahwa terdapat upaya
besar-besaran menggunakan media sosial, terutama Facebook, untuk menyebarkan
konten palsu yang mendukung atau merugikan salah satu kandidat. Grup-grup atau
individu dengan kepentingan tertentu menggunakan algoritma dan targeting iklan
untuk menargetkan kelompok spesifik dalam masyarakat, memperkuat pandangan
mereka dan menciptakan perpecahan.
Selain itu, algoritma
platform sosial media sering kali memperkuat "gelembung informasi" di
mana individu hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan pandangan
mereka sendiri. Sebagai contoh doktrinisasi
pemahaman agama radikal. Dalam hal ini, sosial media hanya menghadirkan konten
yang konsisten dengan pandangan atau interpretasi agama radikal. Individu yang
cenderung memiliki keyakinan radikal dapat secara terus-menerus terpapar pada
informasi memperkuat keyakinan mereka, sementara informasi yang bertentangan
atau moderat diabaikan atau bahkan dihapus dari lingkup pandangan mereka.
Hasilnya adalah masyarakat
yang terpecah belah, sulit untuk mencapai kesepakatan atau dialog yang
konstruktif. Kasus ini menunjukkan bagaimana teknologi rekayasa sosial dan
manipulasi opini dapat digunakan dengan cara yang merugikan integritas
informasi dan menyebabkan polarisasi yang mendalam dalam masyarakat.
Komentar