Dialog Santri tentang Polemik Perayaan Tahun Baru (antara Tradisi dan Ritual)
Tiga orang santri, Aziz dan Fauzi , terlibat dalam dialog seru mengenai polemik perayaan tahun baru. Mereka duduk di depan asrama, ngopi, dan merokok lintingan sambil membahas topik yang cukup hangat di kalangan santri.
Fauzi , santri yang sering telat datang saat ngaji, dengan santai menyapa Aziz , "Menurutmu boleh nggak kita pada malam tahun baru, bakar roti atau ayam sambil menikmati kopi dan rokok lintingan?"
Aziz , santri yang tegas dan kritis, lantas menyela, "Gayamu, rokok saja lintingan dan syahriyah pondok nunggak, kok mau bakar ayam dan roti segala. Tapi kalau ada ya nggak apa-apa, asal kamu yang mbandari. Namun kalau bisa jangan malam tahun baru, itu kan menyerupai perayaan orang kafir."
Fauzi membalas, "Memangnya merayakan tahun baru hanya hak orang Nasrani? Bukankah kita juga diwajibkan beriman kepada nabi Isa As, al-Quran menyebutkan kemulian Isa bin Maryam dan keajaiban peristiwa kelahirannya?"
Aziz , dengan tatapan serius, menimpali, "Masalahnya bukan pada nabi Isanya, tapi ini menyerupai orang kafir dan tidak ada dalilnya."
Wahid, santri yang sebelumnya diam, ikut bersuara, "Waduuh, masa bakar roti dan ayam harus ada dalil khusus, dan momentum yang kebetulan sama lantas dicap menyerupai orang kafir. Jika begini, betapa banyak yang kita lakukan menyerupai orang kafir, termasuk pakai celana, HP, topi, makanan, dan sebagainya."
Fauzi mengangguk setuju, "Itu tradisi atau kebiasaan bukan ritual, jadi tidak masalah jika menyerupai orang kafir. Tapi kalau merayakan itu sudah ritual, jadi gak boleh."
Wahid memecah keheningan, "Sebentar, jika malam tahun baru kita merayakannya dengan membaca al-Quran dan berzikir, apa itu juga tidak boleh?"
Aziz menjawab, "Membaca al-Quran dan berzikir yang ente sebut itu hanya teknisnya saja, sedangkan substansinya ada pada perayaannya. Jika substansinya gak boleh, maka prosesnya juga gak boleh. Ini sama dengan membaca basmallah atau al-Fatihah ketika makan daging babi, maka membacanya itu haram, karena memakan daging babi jelas haram."
Wahid, melinting rokok lagi, setelah itu ia menyahut, "Qiyas atau analogi kamu gak tepat. Kalau makan daging babi jelas haram. Tapi kalau merayakan atau mengenang hari-hari yang berkaitan dengan orang-orang yang dimuliakan Allah justru sesuai dengan perintah Allah. Bukankah nabi Isa juga orang yang dimuliakan Allah."
Tidak lama kemudian, terdengar suara "Kang, pinjam korek." Muncul Nasir, santri yang sering dipanggil Gus, walaupun bapaknya bukan kyai. Dia dikenal karena hafal Alfiyah bolak-balik dan juga Fathul Qorib. Konon katanya kakeknya dulu kyai yang berpengaruh di daerahnya.
"Monggo Gus," kata Wahid, "tumben rokoknya Surya, biasanya Omni atau Rastel."
Nasir, penasaran dengan pembicaraan mereka, bertanya, "Kalian sedang apa? Kelihatannya seru banget." Wahid menjawab, "Oooo ini lagi bahas bakar roti dan ayam," sambil menunjuk Aziz .
Nasir tertarik, "Enak dong, kapan itu?"
Fauzi menyela, "Itu baru rencana Gus, tapi masalahnya sama, ini diharamkan," sambil melirik ke arah Aziz .
Nasir menyela, "Waduh, barang enak dan halal kok jadi haram, ini gimana ceritanya," kata Nasir.
"Coba dilihat dulu, tahun baru Masehi itu merayakan apa? Nanti akan kelihatan benang merahnya, sama seperti merayakan peringatan yang lain, seperti Maulid, hari kemerdekaan, dan lainnya," kata Nasir dengan serius, sementara kedua santri yang tadi berdebat jadi terdiam.
Dialog di atas hanyalah sekelumit dari polemik tentang perayaan tahun baru masehi. Berikut ini adalah Fatwa Dar al-Ifta` al-Misriyyah (Lembaga Fatwa Mesir) Nomor Fatwa 5856 tanggal: 26 Desember 2021 tentang hukum merayakan tahun baru masehi:
Fatwa Dar al-Ifta` al-Misriyyah
Perayaan awal tahun baru Masehi berdasarkan hari kelahiran Nabi Isa ibn Maryam, As, dengan segala bentuk perayaan dan kebahagiaan yang terkandung di dalamnya, diperbolehkan, dan tidak ada larangan dalam hal ini. Perayaan Ini merupakan salah satu bentuk pengingat terhadap hari-hari Allah, dan telah menjadi kesempatan untuk pertemuan sosial dan kegiatan skala nasional.
Selama tidak menyebabkan umat Islam terlibat dalam ritual keagamaan atau praktik yang bertentangan dengan ajaran Islam, dan tidak merayakan tahun baru dengan sesuatu yang diharamkan, maka tidak ada yang menghalanginya dari sudut pandang syariah.
Perayaan Tahun Baru Masehi melibatkan tujuan-tujuan: sosial, keagamaan, dan nasional. Masyarakat mengucapkan selamat tinggal pada tahun yang telah berlalu dan menyambut tahun yang akan datang sesuai dengan kalender Masehi yang didasarkan pada kelahiran Nabi Isa bin Maryam, AS.
Perbedaan dalam penentuan tanggal kelahiran Isa As tidak mengurangi keabsahan perayaan ini. Tujuan utamanya adalah mengekspresikan kegembiraan atas berakhirnya satu tahun dan dimulainya tahun yang baru, serta menghidupkan kembali kenangan akan mukjizat kelahiran Nabi Isa bin Maryam, As. Hal ini mencakup penonjolan nilai-nilai toleransi, kewarganegaraan, dan perlakuan baik antara umat Islam dan sesama warga negara. Oleh karena itu, perayaan Tahun Baru Masehi memiliki beberapa tujuan, namun semuanya tetap harus sesuai dengan hukum dan ketentuan syariat Islam.
Tujuan Sosial
Tujuan secara sosial dari perayaan tahun baru adalah merasakan nikmat Allah dalam perputaran hari dan tahun. Kehidupan yang terus berlanjut dan berputarnya waktu merupakan nikmat yang harus disyukuri dengan cara yang sesuai syariat. Hidup adalah salah satu anugerah dari Allah, dan perjalanan waktu yang terus-menerus adalah bukti dari anugerah ini. Hal ini menjadi alasan untuk mengkaji makna-makna ucapan selamat dan kegembiraan. Tidak dapat disangkal bahwa ucapan selamat seharusnya berkaitan dengan kegembiraan. Para ulama telah menekankan pada anjuran untuk memberikan ucapan selamat menyambut tahun baru dan bulan baru. Sheikh al-Islam Zakariya al-Ansari al-Syafi'i dalam "Asna al-Matalib" (1/283, Penerbit: Dar al-Kitab al-Islami) menyatakan:
قَالَ الْقَمُولِيُّ لَمْ أَرَ لِأَحَدٍ مِنْ
أَصْحَابِنَا كَلَامًا فِي التَّهْنِئَةِ بِالْعِيدِ وَالْأَعْوَامِ وَالْأَشْهُرِ
كَمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ لَكِنْ نَقَلَ الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ عَنْ
الْحَافِظِ الْمَقْدِسِيَّ أَنَّهُ أَجَابَ عَنْ ذَلِكَ بِأَنَّ النَّاسَ لَمْ
يَزَالُوا مُخْتَلِفِينَ فِيهِ وَاَلَّذِي أَرَاهُ مُبَاحٌ لَا سُنَّةَ فِيهِ
وَلَا بِدْعَةَ
Tujuan dari Segi Keagamaan
Adapun tujuan dari segi keagamaan: itu terkait dengan peringatan kelahiran seorang nabi dari para nabi Allah yang mulia, yaitu Sayyidina Isa bin Maryam, As. Kelahirannya memiliki kedudukan dan kesucian khusus dalam Islam; karena itu merupakan kelahiran yang ajaib. Isa diciptakan dari seorang ibu tanpa seorang ayah, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur'an:
اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ
كَمَثَلِ اٰدَمَ ۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ
"Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah
seperti perumpamaan Adam; Allah menciptakannya dari tanah, kemudian Allah
berfirman kepadanya: 'Jadilah!' maka ia pun menjadi." (Q.S Al-Imran: 59).
Kelahiran Isa bin Maryam dikelilingi oleh tanda-tanda alam dan mukjizat-mukjizat ilahi yang tidak terulang pada yang lain; bahkan mereka menyebutkan bahwa Allah menjadikan sungai mengalir di dalam Mihrab untuk Sayyidah al-Batul Maryam, dan menyediakan kurma untuknya secara ajaib dari batang yang kering di musim dingin di luar waktu panen buahnya. Hal ini bertujuan untuk menenangkan hatinya, menyenangkan dirinya, dan mengembalikan kegembiraan kepadanya setelah dia bersusah payah melahirkan dan berlumuran darah, sehingga dia mencari perlindungan dan menutupi dirinya dengan batang pohon kurma.
Dengan demikian, dapat dijawab atas keberatan orang-orang yang menentang perayaan kelahiran Sayyidina Isa, As, dengan alasan bahwa itu dilakukan di luar waktunya, karena buah kurma biasanya hanya tumbuh di musim panas, bukan di musim dingin. Mereka melupakan bahwa keajaiban ilahi dirayakan dalam kelahiran yang penuh berkah ini sesuai dengan waktu dan kondisinya.
Kegembiraan atas hari kelahiran yang ajaib ini adalah sesuatu yang dianjurkan. Al-Qur'an telah mengabadikan peristiwa ini dengan rinci dalam Surah Maryam, dan Rasulullah Saw. memerintahkan untuk mengenangnya.
Kelahiran Isa bin Maryam dikelilingi oleh tanda-tanda alam dan mukjizat-mukjizat ilahi yang tidak terulang pada yang lain; bahkan mereka menyebutkan bahwa Allah menjadikan sungai mengalir di dalam Mihrab untuk Sayyidah al-Batul Maryam, dan menyediakan kurma untuknya secara ajaib dari batang yang kering di musim dingin di luar waktu panen buahnya. Hal ini bertujuan untuk menenangkan hatinya, menyenangkan dirinya, dan mengembalikan kegembiraan kepadanya setelah dia bersusah payah melahirkan dan berlumuran darah, sehingga dia mencari perlindungan dan menutupi dirinya dengan batang pohon kurma.
Dengan demikian, dapat dijawab atas keberatan orang-orang yang menentang perayaan kelahiran Sayyidina Isa, As, dengan alasan bahwa itu dilakukan di luar waktunya, karena buah kurma biasanya hanya tumbuh di musim panas, bukan di musim dingin. Mereka melupakan bahwa keajaiban ilahi dirayakan dalam kelahiran yang penuh berkah ini sesuai dengan waktu dan kondisinya.
Kegembiraan atas hari kelahiran yang ajaib ini adalah sesuatu yang dianjurkan. Al-Qur'an telah mengabadikan peristiwa ini dengan rinci dalam Surah Maryam, dan Rasulullah Saw. memerintahkan untuk mengenangnya.
وَاذْكُرْ فِى الْكِتٰبِ مَرْيَمَۘ
اِذِ انْتَبَذَتْ مِنْ اَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًّا ۙ
"Dan
ceritakanlah (Muhammad) kisah Maryam di dalam Kitab (Al-Qur'an), (yaitu) ketika
dia mengasingkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur
(Baitulmaqdis)
Hingga ayat:
Hingga ayat:
وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ
وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا
"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan
kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku
dibangkitkan hidup kembali." (Q.S Maryam: 33).
Umat Muslim percaya pada semua nabi dan rasul Allah, tanpa membedakan di antara mereka. Mereka merayakan kelahiran nabi yang terpilih, sebagaimana mereka merayakan hari kelahiran semua nabi dan rasul, sebagai tanda syukur kepada Allah atas nikmat-Nya yang mengirimkan petunjuk kepada umat manusia dan cahaya serta rahmat. Mereka adalah salah satu anugerah terbesar Allah kepada umat manusia, dan hari-hari kelahiran nabi dan rasul merupakan hari yang penuh kedamaian dan berkah bagi seluruh alam. Allah juga telah menetapkan hal itu, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an:
Umat Muslim percaya pada semua nabi dan rasul Allah, tanpa membedakan di antara mereka. Mereka merayakan kelahiran nabi yang terpilih, sebagaimana mereka merayakan hari kelahiran semua nabi dan rasul, sebagai tanda syukur kepada Allah atas nikmat-Nya yang mengirimkan petunjuk kepada umat manusia dan cahaya serta rahmat. Mereka adalah salah satu anugerah terbesar Allah kepada umat manusia, dan hari-hari kelahiran nabi dan rasul merupakan hari yang penuh kedamaian dan berkah bagi seluruh alam. Allah juga telah menetapkan hal itu, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an:
وَذَكِّرْهُمْ بِاَيّٰىمِ اللّٰهِ
ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ
"dan
ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” Sungguh, pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak
bersyuku." (Q.S. Ibrahim: 5).
Di antara hari-hari yang memerlukan rasa syukur dan dianjurkan untuk diingat adalah hari-hari kelahiran para nabi. Dalam hal ini, terdapat penolakan yang melarang perayaan hari lahir dengan dalih bahwa itu adalah hari yang tidak terulang.
Argumen tersebut tidak benar karena bertentangan dengan perintah Allah untuk mengingat hari-hari Allah. Mengingat hari-hari tersebut adalah upaya untuk memperbarui kenangan tentang peristiwa yang terjadi di hari-hari tersebut. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw berpuasa pada hari Senin setiap minggu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas nikmat kelahirannya dan sebagai perayaan hari kelahirannya yang mulia.
Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Ansari radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Saw ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau menjawab:
Di antara hari-hari yang memerlukan rasa syukur dan dianjurkan untuk diingat adalah hari-hari kelahiran para nabi. Dalam hal ini, terdapat penolakan yang melarang perayaan hari lahir dengan dalih bahwa itu adalah hari yang tidak terulang.
Argumen tersebut tidak benar karena bertentangan dengan perintah Allah untuk mengingat hari-hari Allah. Mengingat hari-hari tersebut adalah upaya untuk memperbarui kenangan tentang peristiwa yang terjadi di hari-hari tersebut. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw berpuasa pada hari Senin setiap minggu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas nikmat kelahirannya dan sebagai perayaan hari kelahirannya yang mulia.
Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Ansari radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Saw ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau menjawab:
«ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ، وَيَوْمٌ
بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ» رواه مسلم
"Itu adalah hari di mana aku dilahirkan dan di
hari itu aku diutus atau diwahyukan kepadaku." (HR. Muslim)
Tujuan Nasional
Perayaan tahun baru adalah hari raya bagi warga negara yang bukan muslim. Islam telah mengakui umat beragama samawi untuk merayakan hari raya mereka, seperti yang disebutkan dalam hadis yang shahih dan lainnya dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Nabi Saw bersabda: "Setiap umat memiliki hari raya, dan hari raya kita adalah hari ini."
Kehadiran bersama di dalam negeri menuntut solidaritas dan partisipasi antar individu meskipun berbeda agama dan keyakinan. Syariah Islam telah memberikan faktor-faktor untuk stabilitas negara; semangat kebangsaan adalah makna yang menyeluruh yang mencakup berbagai hubungan kemanusiaan, seperti tetangga, persahabatan, persaudaraan, dan perlakuan.
Setiap hubungan memiliki haknya yang harus diperhatikan untuk stabilitas negara dan solidaritas antar pemeluk agama. Syariat Islam mendorong pemenuhan setiap hak dengan sendirinya, dan semakin erat hubungan dan relasi, semakin jelas hak dan kewajiban. Ketika semua ikatan ini bersatu dalam kewarganegaraan, hak-haknya menjadi lebih kuat dan konsekuensinya lebih mendasar.
Tujuan Nasional
Perayaan tahun baru adalah hari raya bagi warga negara yang bukan muslim. Islam telah mengakui umat beragama samawi untuk merayakan hari raya mereka, seperti yang disebutkan dalam hadis yang shahih dan lainnya dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Nabi Saw bersabda: "Setiap umat memiliki hari raya, dan hari raya kita adalah hari ini."
Kehadiran bersama di dalam negeri menuntut solidaritas dan partisipasi antar individu meskipun berbeda agama dan keyakinan. Syariah Islam telah memberikan faktor-faktor untuk stabilitas negara; semangat kebangsaan adalah makna yang menyeluruh yang mencakup berbagai hubungan kemanusiaan, seperti tetangga, persahabatan, persaudaraan, dan perlakuan.
Setiap hubungan memiliki haknya yang harus diperhatikan untuk stabilitas negara dan solidaritas antar pemeluk agama. Syariat Islam mendorong pemenuhan setiap hak dengan sendirinya, dan semakin erat hubungan dan relasi, semakin jelas hak dan kewajiban. Ketika semua ikatan ini bersatu dalam kewarganegaraan, hak-haknya menjadi lebih kuat dan konsekuensinya lebih mendasar.
Dengan demikian, perayaan Tahun
Baru Masehi yang dijadwalkan berdasarkan hari kelahiran Sayyidina Isa bin
Maryam, alaihimas salam, dengan semua ekspresi kegembiraan yang
melibatkannya, diperbolehkan, dan tidak ada larangan selama itu tidak memaksa
umat Islam untuk melibatkan diri dalam ritual keagamaan atau praktik ibadah
yang bertentangan dengan keyakinan Islam.
Meskipun pernyataan ini memberikan sudut pandang yang terbuka terhadap perayaan Tahun Baru Masehi, pandangan mengenai hal ini dapat bervariasi di kalangan umat Islam. Beberapa mungkin setuju dengan pendekatan toleran, sementara yang lain mungkin memiliki pandangan yang lebih konservatif dan menolak keterlibatan dalam perayaan tersebut.
Meskipun pernyataan ini memberikan sudut pandang yang terbuka terhadap perayaan Tahun Baru Masehi, pandangan mengenai hal ini dapat bervariasi di kalangan umat Islam. Beberapa mungkin setuju dengan pendekatan toleran, sementara yang lain mungkin memiliki pandangan yang lebih konservatif dan menolak keterlibatan dalam perayaan tersebut.
By: Abu Huzaifah al-Nglintingi
Komentar